Bagi banyak kalangan di Indonesia, Harley-Davidson bukan sekadar kendaraan, melainkan simbol kemewahan dan kebebasan. Suara knalpot khasnya yang berat dan berirama, yang dijuluki “Rolling Thunder,” telah bertransformasi menjadi identitas yang kuat. Suara ini mengumumkan kedatangan pemiliknya, menggaungkan prestise finansial dan status sosial tinggi. Fenomena ini menunjukkan bagaimana sebuah aspek teknis dapat menjelma menjadi ikon budaya dan penentu hierarki sosial.
Suara “Potato-Potato” yang dihasilkan oleh mesin V-twin Harley-Davidson adalah hasil dari konfigurasi mesin unik dan interval pembakaran yang tidak merata. Modifikasi knalpot aftermarket yang sering dilakukan pemilik bertujuan memperkuat irama khas ini, menjadikannya lebih lantang dan dominan. Intinya, semakin menggelegar suara “Rolling Thunder” tersebut, semakin besar pula perhatian dan pengakuan yang diterima pemiliknya di jalan.
Di Indonesia, kepemilikan Harley-Davidson memerlukan modal yang sangat besar, termasuk biaya impor, pajak tinggi, dan perawatan premium. Harga selangit ini secara otomatis menempatkan pemiliknya di strata ekonomi atas. Oleh karena itu, suara “Rolling Thunder” bertindak sebagai invisible badge atau lencana tak terlihat yang memproklamirkan kesuksesan finansial tanpa perlu diucapkan.
Aspek sosial lain yang menguatkan status ini adalah komunitasnya. Pemilik Harley-Davidson di Indonesia terorganisir dalam klub motor eksklusif yang solid. Keanggotaan dalam klub ini memberikan akses ke jaringan sosial elit. Ketika rombongan Harley melintas dengan suara Rolling Thunder yang serentak, mereka bukan hanya berparade, tetapi menegaskan kekompakan dan kekuatan kelompok sosial mereka.
Meskipun suara knalpot yang bising seringkali menuai kritik dari masyarakat umum karena mengganggu ketenangan, bagi para penggemar dan pemiliknya, suara tersebut adalah musik. Ini adalah perwujudan dari filosofi “Live to Ride, Ride to Live,” sebuah ekspresi personalisasi yang mendalam dan berani menentang arus, menguatkan identitas individual yang unik.
Pemerintah dan kepolisian di beberapa daerah sempat berupaya mengatur kebisingan knalpot ini demi ketertiban. Namun, perdebatan antara legalitas suara bising dan kebebasan berekspresi para pengendara Harley-Davidson terus terjadi. Upaya penertiban menunjukkan bahwa fenomena Rolling Thunder telah menjadi isu publik, melampaui sekadar masalah teknis kendaraan.
Di luar kontroversi, suara knalpot ini berhasil menciptakan citra abadi. Ia adalah suara American Dream yang diterjemahkan ke dalam konteks Asia Tenggara. Bunyi khas ini memanggil memori kolektif akan petualangan, film action, dan maskulinitas, menjadikannya resonansi yang tidak bisa ditiru oleh merek motor lain mana pun.
Pada akhirnya, Rolling Thunder adalah contoh sempurna bagaimana suara dapat diubah menjadi modal sosial. Ia bukan hanya suara mesin, tetapi suara status, komunitas, dan keberanian. Ikonografi suara ini akan terus menjadi ciri khas yang membedakan Harley-Davidson dari motor-motor lainnya di jalanan Indonesia.
